Akar Budaya Toleransi dan Pluralisme di Bolaang Mongondow Raya, Kearifan Lokal Penjaga Nilai Demokrasi

Wahyu Pratama Andu

Mahasiswa Pascasarjana Kajian Budaya UNHAS

Peneliti di PS2BMR

 

Pada tahun 1563 Sultan Hairun dari Ternate mengutus anaknya Pangeran Baabullah bersama Kaicil Guzarate pergi  ke Utara Celebes untuk menaklukanya, sementara itu dengan kapal yang berbeda para misionaris portugis dari Ternate melakukan hal yang sama menuju Utara Celebes. Dalam perjalanan ini, Gubernur Portugis Enrique de Sauza mendelegasikan satu kapal yang ditumpangi Pater Diogo Maghelhaes (Magelan). Sang Pastur tinggal selama 14 hari di Manado tepatnya di pinggir sungai Wenang. Disana, Pastur Diogo Magelhaes  membabtis Raja Siau bernama Posuma dan Raja Manado bersama 1500 pengikutya Gode (1928).

Ini merupakan prestasi besar Maghelhaes karna berhasil membabtis Raja Manado yang dikenal garang dan suka berperang, penakluk (Ekspansionis), juga penguasa semenanjung laut utara.

Visser menulis perjalanan Maghelhaes berikut (Visser B.J.J 1965:) “

Na vier dagen varens kwam men behouden te Manado aan, nog in de maand Mei 1563. Met veel vreugde werd daar de komst van den Missionaris begroet. De radja en het volk van Manado toonden zich zeer begeerig om den godsdienst der Portugeezen aan te nemen en zij drongen bij den Missionaris er op aan”.

Terjemahan bebasnya;

“Setelah berlayar selama 4 hari mereka tiba di Manado, masih pada bulan Mei 1563 Kedatangan misionari disana diterima dengan penuh sukacita. Raja dan rakyat Manado sangat tertarik untuk menerima agama Portugis dan mereka mendorong misionaris untuk menghabiskan sebagian waktu di kampung mereka.

Setelah itu Maghelhaes pergi ke Siau kemudian ke bola (Bolaang) bertemu Raja, Putra dari Raja Manado, kuat dugaan Raja ini adalah Punu’ Busisi, merujuk pada slakbom Punu’ dan Raja-raja Bolaang Mongondow baik dalam Madedelingen Wilken dan Schwarz  ataupun Dunnebire dalam  Over der Vosrten Bolaang Mongondow (keduanya sama-sama menulis Punu Busisi adalah anak Kinalang Damopolii)  ..

Setibanya (Maghelhaes) di Bolaang, Raja Bolaang itu sudah terlebih dahulu masuk Islam karna sebelum Maghelhaes tiba, Busisi sudah terlebih dahulu berjumpa dengan Kaicil guzarate. Dari catatan atau laporan perjalanan di atas bisa disimpulkan bahwa Islam sudah masuk di Bolaang sejak masa  Punu’ Busisi. Islam di Bolaang dibawa oleh Kaicil Guzarate atas perintah Baabullah anak Sultan Hairun, bersamaan dengan misi katolik yang dibawa oleh Pastur Diego Maghelhaes (Magelan) yang membaptis Kinalang Damopolii Raja Manado ayah dari Punu’ Busisi. Argumen tentang Raja Manado adalah Kinalang Damopolii diperkuat oleh Sam Narande  dalam ‘Vadu La Paskah’ (1960) menyatakan bahwa 1500 orang telah di baptis di Manado bersama Rajanya. Tentang siapa Raja Manado ini, Narande mengarah kepada Punu’ Kinalang Damopolii.

Meskipun islam telah masuk ke Bolaang di masa punu busisi, pada pertengehan abad enam belas 1500san namum islamisasi belum sepenuhnya menjadi agama resmi masyarakat Bolaang Mongondow khususnya masyarakat pedalaman Mongondow yang masih berpegang pada agama lokal, agama leluhur Bolaang Mongondow, hal ini kita bisa lihat dalam disertasi Ariel Lopes yang berjudul Konvensi Islam dan Kristen di sulawesi utara, (2018) Lopez menulis salah satu referensi paling awal Islamisasi di Bolaang Mongondow adalah pernikahan antara putri Raja Cornelis Manoppo bernama putri sarah dan saudagar arab bernama Syarif Aluwi pada tahun 1832.

 

Kekristenan

Menurut Paul Van Lunteren (2020) pada akhir abad ke-19 Bolaang Mongondow didominasi oleh penganut  agama islam adapun beberapa orang kristen kebanyakan adalalah pendatang dari Minahasa. Francsiskus Xaverius dari serikat Jesuit belakangan dikatakan sebagai orang pertama yang memberitakan injil di Minahasa ia menumpangi kapal dagang portugis dan spanyol saat mengunjungi Minahasa. Namun pengaruh misionaris menurun pada saat orang Belanda menetap di Minahasa pada tahun 1657, sebab di masa itu hanya para pendeta dari perusahaan dagang Vereenigde Oost-Indische Company (VOC) yang datang di pesisir utara sulawesi, sementara bagian pedalaman Mongondow dan Minahasa sangat jarang dikunjungi. Pada abad ke-17,18 sebelum kedatangan para misionaris para penduduk masih menganut agama lokal.

Lanjut Paul, pada tahun 1689 kekristenanan hadir di Bolaang Mongondow sejak Raja Jacobus Manoppo dibabtis memeluk kristen. Pada tahun 1705 dilaporkan bahwa ada sekitar 152 pemeluk agama kristen yang membentuk suatu komunitas di pesisir utara Bolaang. Namun kekristenan di Bolaang berangsur lamban, hal ini disebabkan kurangnya perhatian dari pihak Residen. Baru pada tahun 1829 tampak keseriusan mengkristenkan Sulawesi Utara, dengan memulai misi Nederland Zenling Genoschap (NZG)  hasilnya di Minahasa banyak orang menjadi beriman (Kristen) selama abad ke-19 Sebagai hasil dari perkabaran ini pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 Minahasa dikenal sebagai pusat protestan pribumi. NZG Mulai punya peranan penting di Minahasa. Bahkan di beberapa daerah seperti Manado dan Tomohon katolik roma memperoleh pijakan, sementara NZG mendapat masalah dalam keuangan di sela tahun 1875-1885 bagaimanapun NZG harus mempertahankan dirinya di Minahasa, kemudian Bolaang Mongondow harus diperhatikan.

Di Minahasa keberhasilan misi telah tercapai namun Kondisi terbalik terjadi di Bolaang Mongondow, pada abad ke-19 para Misionaris jarang mengunjungi Bolaang Mongondow. Dunnebier (1910:) Menulis Pada tahun 1866 Zendling Wilken & Schwarz diutus guna pendirian misi di Bolaang Mongondow, Wilken & Schwarz harus menyelidiki sejauh mana perkembangan Islam di Bolaang Mongondow, dalam keterangan laporan keduanya Bolaang terakhir dikunjungi pada tahun 1832 oleh seorang guru Misionaris dari Minahasa. Beberapa tahun kemudian kepala sekolah setempat sudah meninggal dunia. Raja Jakcobus Manuel Manoppo pada saat itu meminta beberapa kali untuk penugasan kepala sekolah baru, namun permintaan itu sia sia belaka, guru misi tidak kunjung datang juga. Menurut Dunnebier pada tahun 1878 Penutupan sekolah di Bolaang itu bukan karena kematian kepala sekolah (Jean Babtista), akan tetapi keputusan dari panitia (NZG) karena memang sudah sangat kurang peminatnya,

Islamisasi

Wilken dan Schwarz menulis pada tahun 1844 Raja Jacobus Manuel Manoppo (Sultan) mengunjungi residen Manado ia bertanya kepada Residen apakah pemerintah (Hindia Belanda) keberatan jika Raja & Rakyatnya memeluk agama Islam? Residen mempersilahkan pilihan agama Raja dan rakyatnya ia menghormati kebebasan beragama asalkan tetap menjalankan pemerintahan sesuai perjanjian (Lang Contrak). Sekembalinya di Bolaang Mongondow raja memproklamirkan Agama Islam sebagai agama Raja dan rakyatnya.

Berbeda dengan Wilken dan Schwarz. W. Dunnebier (1906) menerangkan keislaman di Bolaang Mongondow bukan karena Raja tapi karena kontak dengan pedagang Muslim Gorontalo di barat dilakukan dengan cepat. Sven Kosel (2010) memiliki pandangan bahwa Perkembangan Islam di Bolaang Mongondow sudah lebih luas pada paruh abad ke-19. Islamisasi di daerah ini tidak terjadi secara tiba-tiba dan tentunya bukan proses yang seragam (Agama raja adalah agama rakyat)

Pada tahun 1866 Menurut Wilken dan Schwarz (1867) ada lebih dari separuh penduduk Bolaang Mongondow sudah muslim, separuh lainya maih memeluk agama lokal, para misionaris berharap keaktifan misi masih dapat mengubah penduduk beriman kristen dalam jangka pendek. Namun pengaruh islam yang tumbuh militan, tidak adanya otoritas eropa yang kuat, amoralitas dikalangan penduduk, medan yang sulit serta infrastruktur yang buruk sebagai hambatan misi, selain itu ada semacam ancaman nyata yang berkembang di Bolaang mongondow bahwa agama kristen diasosiasikan dengan rezim kolonial. Walaupun begitu, Tampaknya Wilken dan Schwarz masih menaruh harapan besar untuk misionarisme di Bolaang Mongondow, mereka punya pandangan bahwa orang islam masi menggelar upacara agama lokal yang mereka sebut partisipasi pengorbanan animisme, dalam tradisi mongondow disebut Monibi. Dalam pandangan Dunnebier praktek tersebut tidak relevan ketika orang islam mongondow masih melakukan ritual agama lokal.

Lopez (2017) dalam disertasinya menulis keislaman Raja Manoppo di paruh abad -19 dipengaruhi oleh para saudagar muslim seperti Andi Latae sekitaran tahun 1805 dan Syarif Aluwi pada tahun 1832 yang cukup kaya dengan membayar mahar yang diminta keluarga Manoppo agar dapat mengawini putri mereka. Melalui pernikhan ini, Islam diperkenalkan di istana menurut Lopez ini adalah babakan penting dalam Islamisasi di Bolaang Mongondow dengan mengistilahkan “Wajah Raja Sentris” peran elit lokal tidak boleh diremehkan dalam perkembangan agama islam. Menurutnya Penjelasan tentang pertumbuhan Islam harus dicari dalam kombinasi berbagai faktor, di mana langkah-langkah politik-strategis kaum bangsawan dan kontak perdagangan intensif dengan saudagar Islam memainkan peranan utama.

Keberhasilan penyebaran islam di Bolaang Mongondow tidak lepas dari peran para pedagang arab dan bugis serta peran elit lokal. Otoritas agama Islam kemudian berdiri diatas karisma para ulama-ulama yang melakukan kontak dengan pendududuk dalam perjalanan mereka, apalagi setelah tahun 1849 pelabuhan Manado dibuka untuk umum sebagai pelabuhan bebas kontak dagang semakin meningkat termasuk dengan Bolaang Mongondow.

Menurut Sven Kosel (2010) salah satu keunggulan islam hingga terterima di Bolaang Mongondow adalah kejelasan argumen melalui pendekatan persuasif yang dilakukan oleh para ulama penyebar agama ini, berbeda dengan Kosel, Dunnebier berpendapat para raja dan pemimpin islam lainya memberikan tekanan pada penduduk untuk menjadi muslim. Meskipun gagasan Dunnebier tidak boleh disepelekan namun faktanya tetap bahwa islam lebih menarik bagi masyarakat Bolaang Mongondow secara kolektif daripada kristen (Protestan) yang berorientasi individualis

Toleransi dan Pluralisme

            Toleransi merupakan istilah moderen yang lahir pertama kali di Barat,  di bawah situasi dan kondisi politik dimana kondisi soisal dan kebudayaan memiliki ciri khasnya, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Toleransi dari kata toleran yang bisa dimaknai menghargai, membiarkan, berpendapat artinya toleransi dapat bermakna sebagai batas ukur penambahan atau pengurangan yang pada ambang batas diperbolehkan, toleransi juga dapat diartikan sebagai kebebasan dalam mengatur nasib kehidupanya selama mereka menentukan nasib dan sikap serta pendapatnya tidak melanggar ketentuan terciptanya suatu ketertiban, perdamaian dan kenyamanan masyarakat.

Sementara Pluralisme diambil dari  Kata pluralitas kalau kita lihat dalam Bahasa Inggris disebut pluralism, kata pluralism diambil dari gabungan dua kata plural dan isme. Kata plural dapat diartikan dengan menunjukkan lebih dari satu, sedangkan kata isme dapat diartikan dengan sesuatu yang langsung berhubungan dengan paham atau aliran. Pluralisme adalah sebuah paham yang menyatakan tentang sikap terhadap keadaan yang majemuk, baik dalam konteks sosial, budaya, politik dan agama yang saling berdampingan dan bekerja sama dan berinteraksi antara penganut satu agama dengan penganut agama lainnya, Tafsirudin (2020).

            Pembaca, Jika kita kembali ke babakan abad  ke-16,17 Heinrich E. Niejemi, dalam “Political Rivalry and Early Duch Refeormed Mission in Seventeent-Century North Sulawesi (Mission and Missionaries: 2000) Mengungkap hal berbeda mengenai perkembangan misi Kristen & katolik maupun islam dan agama lokal di semenanjung Utara Sulawesi. Menurut Heinrich meskipun tidak cukup detil corak Islam Bolaang pada abad 16 sejak kontak dengan Kaicil Guzarate, namun pada abad ke-17 di kalangan istana seperti Kapita Laut beragama katolik, Jugugu Islam & diikuti bawahanya secara nominal. Heindrik menulis Raja sudah Islam.

Dari penjelasan diatas kita bisa tarik akar sejarah pluralisme dan toleransi di Bolaang Mongondow Sejak kedatangan Pastor Diogo Magelhaes yang membabtis Raja Manado Kinalang Damopolii, serta Kaicil Guzarate yang Mengislamkan Punu Busisi dimana keduanya adalah ayah dan anak yang memutuskan untuk berbeda agama, begitupun pada abad selanjutnya dalam artikel Heinrich di atas dijelaskan para pembesar istana juga berbeda agama, namun tetap hidup rukun dalam istana kerajaan, sementara dalam tradisi lisan masyarakat umumnya masih banyak menganut agama lokal.

Meski ada pendapat lain yang menginterpretasi kepemelukan Agama masa lalu hanyalah sebatas interfensi atau kepentingan aliansi politik penguasa, namun dari sumber kredibel di atas tidak bisa kita nafikan bahwa keragaman dan budaya toleransi beragama sudah mengakar di Kerajaan Bolaang Mongondow semenjak ratusan tahun yang lalu bahkan sebelum kata toleransi dan pluralisme itu populer di publik. Sampai sekarang torang tetap baku baku-jaga, baku-baku bae, baku-baku pasiar meskipun berbeda latar agama. Oleh karenanya budaya yang baik itu tentu kita pelihara sebagai wujud dari kearifan lokal Intau Bolaang Mongondow, Sebab siapapun dan darimanapun yang hidup, tumbuh, bekerja, mengabdi mencari nafkah serta berkepentingan di tanah para Bogani maka ia wajib menjaga nilai budaya yang telah turun temurun diwariskan oleh para leluhur dari masa kemasa tentu tanpa mengabaikan adagium lama dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Apalagi menjelang tahun politik 2024 patut kita mengedepankan Mooaheran, Mooulean bo Mobobahasaan, sebagai implementasi dari nilai toleransi dan pluralisme itu sendiri disamping siasat dan strategi pemenangan masing-masing pihak agar kita tidak mudah terpecah belah hingga lupa kepentingan kita bersama Bolaang Mongondow Raya yang Multicultur. Motobatu Molintak kon Totabuan, sebab ada yang lebih penting dari politik yakni Pogogutat Ginalum Potolu adi’ kearifan lokal penjaga Nilai Demokrasi.

Mereka yang bukan saudaramu dalam iman adalah saudaramu dalam kemanusiaan (Ali Bin Abi Thalib)

Musuh kita bukanlah suku atau agama yang berbeda, tapi kekuasaan yang menindas (Adian Napitupulu)

Syukur Moanto’

Sumber Rujukan

Dunnebier  1910 “Bolaang-Mongondow, (Noord-Celebes) Een Zending Spost Voor De Classes Bommel C. Van hingsbergen, Geldermalsen.  Universitas Vrije Ammsterdam

 

Kosel, Sven, ‘Christian mission in an islamic environment: religious conversion in North Sulawesi in the light of a case-study from Bolaang Mongondow’, Paideuma: Mitteilungen zur Kulturkunde Nr. 51 (2005) 41-65

 

Lopez, Ariel. Convension and Colonialism: islam and christianty in North Sulawesi, c 1700-1900 (Leiden 2018)

 

Lunteren, Paul 2020 “Tussen gemoedelijke verhouding en scherpe tegenstelling” Beeldvormingen over moslims bij de zendelingen van het Nederlands Zendingsgenootschap in Bolaäng Mongondow (Noord-Celebes), 1905-1950

Moesbergen, Godee. 1928. Geschiedenis Van De Minahassa Tot 1829. Weltevreden. Landsdrukkerij

 

Narande Sem 1980 Vadu La Paskah  Tonggak Sejarah Perjalanan Suat Jemaat. Tawaang Hanum B

 

Visser B.J.J 1925.Onder De Purtugeech-Spanche Vlag; De katholieke Missie Van  Indonesia 1511-1605 . Amsterdam . N.V de R.K. Boek (hlm.160)

 

Wilken & Schwarz, 1867, Allerlei Over Het Land En Volk Van Bolaang Mongondou. Dalam Madedeelingen Van Wege Het Nederlandsche Zendelinggenootschap; Bijdragen tot de kennis de zending en der taal-,land- en volkenkunde van Nederlandsche Indie.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *